Rabu, 18 Februari 2009

Riwayat Hidup Pendiri Muhammadiyah Depok

Beliau dilahirkan pada tanggal 6 Juni 1918 di Kukusan, sebuah kampung kecil di kecamatan Depok yang terletak di ujung utara yang terletak di ujung utara propinsi Jawa Barat, berbatasan dengan Daerah Khusus Ibukota DKI Jakarta. Ayahnya bernama Disan yang wafat ketika ia berusia masih sangat kecil, sehingga ia tak pernah mengenal wajah ayahnya. Ibunya bernama Nebah, tetapi lebih dikenal dengan panggilan Mak Sadi. Sadi adalah nama anak-laki-lakinya yang tertua. Kebiasaan pada waktu itu memanggil nama seseorang dengan nama anaknya yang sulung. Diantara saudara-saudaranya yang berjumlah lima orang, Usman merupakan anak bungsu.
Nama asli beliau adalah Muthalib Usman disingkat M. Usman. Akan tetapi masyarakat luas jarang yang mengetahui kepanjangan dari initial ‘M’ tersebut. Umumnya masyarakat mengenalnya dengan nama Muallim Usman. Sepulang dari menunaikan ibadah haji, nama lengkap beliau adalah. K.H.M. Usman.
Sejak kecil ia sudah yatim. Ia tak ingat bagaimana wajah ayahnya. Hanya menurut cerita ibunya, ayahnya adalah seorang lelaki yang gagah dan teguh pendirian , namun berhati lembut. Sejak kecil ia tak pernah merasakan bagaimana rasanya hidup bersama ayah. Ia hanya bisa memandang dengan sendu bagaimana teman-temannya yang sebaya bergelayutan di lengan ayahnya sambil merengek manja dengan penuh kebahagiaan. . Namun ia tak pernah mengalami kebahagiaan seperti yang dialami teman-temannya itu.
Ibunya adalah seorang perempuan bertubuh kecil tetapi tabah dan giat bekerja untuk menghidupi keluarga, sekalipun dalam keadaan yang sangat sulit. Ia berusaha bekerja di rumah , beternak ayam dan itik. Terkadang ia mencangkul di kebun untuk ditanami sayur-sayuran dan buah-buahan. Anak-anaknya yang sudah agak dewasa membantunya dengan turut mencari nafkah bekerja di Jakarta. Dapat dibayangkan betapa sulitnya keadaan pada masa itu. Lebih-lebih bagi seorang wanita yang separuh hidupnya dijalaninya tanpa didampingi seorang suami.
Usman kecil bekerja membantu ibunya di rumah. Beberapa tahun lamanya ia membantu mengembalakan kerbau milik seorang tetangganya bernama pak Saji. Sebagai upahnya Usman kecil diizinkan untuk menumpang makan di rumahnya. Dan seekor anak kerbau kerbau kecil dihadiahkan kepada Usman, setelah ia bekerja menggembalakan kerbau beberapa tahun lamanya.

PRIBADI KHM. USMAN
Sejak mudanya, sosok KHM. Usman adalah adalah pribadi yang hangat, ramah dan bersahabat dengan siapapapun. Dia berkawan dengan semua orang tanpa mengenal batas usia. Kepada yang lebih tua tampak sekali hormatnya, dan kepada yang lebih muda ia sangat menghormati dan menghargai. Senyumannya yang khas dan dan sikapnya yang tidak membeda-bedakan siapapun yang dihadapinya, membuat ia banyak kawan, sekalipun ada juga orang yang tidak senang kepadanya karena perbedaan pandangan dan keyakinan. Tetapi semuanya itu itu dihadapinya dengan senyumannya yang khas dan sikapnya yang amat bersahabat.
Seorang temannya pernah berceritera kepada penulis, betapa dia pada awalnya sangat membenci KHM Usman, karena dalam ceramah-ceramahnya sering mengungkapkan masal judi. Rupanya teman itu merasa terganggu dengan kehadiran KHM Usman karena ia adalah penggemar judi. …………………………………………...

Pendidikannya.
Pendidikan formal KH. M. Usman hanyalah kelas lima sekolah rakyat di Lenteng Agung. Pengajian keagamaan dijalaninya dengan mengaji di kampung-kampung. Sejak kecil ia sudah rajin mengaji. Hampir setiap sore seusai menggembalakan kerbau ia mengaji Qur’an di rumah seorang guru bernama H. Koja. Karena bacaannya yang cukup baik seringkali ia ditugaskan menjadi asisten guru ngaji, bahkan kadang-kadang dipercayakan sebagai imam shalat.
Disamping itu ia gemar membaca buku dan rajin mendatangi guru-guru agama dan mengikuti pengajian-pengajiannya. Di Jakarta ia pertama kali berkenalan dengan H. Hamidullah yang kemudian menjadi sahabatnya yang akrab, khususnya di bidang da’wah. Kemudian ia berkenalan dan mengaji kepada Ustadz Mohd. Ali Al-Hamidy, seorang ulama yang berfaham modern dan waktu itu menerbitkan serial Khutbah Jum’at yang dicetak dengan huruf arab-melayu dan diterbitkan seminggu sekali. Disamping itu Usman yang sudah remaja itu mengaji kepada guru-guru lain yang kesemuanya itu menempanya menjadi pribadi yang menjadikan lahan da’wah sebagai sarana perjuangannya.

Hidup berumah-tangga.
Dengan bermodalkan uang tiga ringgit hasil penjualan seekor kerbau, ia melaksanakan perkawinannya dengan seorang gadis bernama Jumi. Kerbau yang dijualnya itu adalah hasil kerja kerasnya selama membantu menggembalakan kerbau milik pak Saji. Sebagai buah hasil perkawinannya lahir delapan anak yang terdiri dari enam putera dan dua orang puteri, yaitu: Wazir Nuri (Pensiunan Pensiunan Pengawas Pendidikan AgamaIslam di Kabupaten Bogor), Mohammad Karta (Pengawas Pendidikan Agama Islam di Jakarta Selatan), Sukarni (Kepala TK. Aisyiyah) Kukusan) , Zaenal Arifin (wafat ketika berusia dua tahun), Zaenal Abidin (sekarang Kepala MTs. Muhammadiyah Kukusan), Rodjanah (lama mengikuti suami bertugas di Irian Jaya), Darus Solihin (guru Bahasa Inggris di SLTP 141 Ciganjur Jaksel), dan Syamsul Alam (Wiraswasta).
Kehidupan selanjutnya dilaluinya dengan penuh suka dan duka. Istrinya yang sangat dicintainya itu ternyata seorang wanita penyabar yang mau diajak menderita. Kehidupan yang sulit ternyata tak membuatnya mengeluh , malah acapkali ia turut memberikan semangat hidup yang sangat membesarkan hati suaminya. Tak tampak wajah muram sekalipun dalam suasana yang sesulit apapun. Dia merupakan obat penawar bagi suaminya terutama ketika menghadapi masa-masa sulit. Sampai akhir hayatnya pada tanggal 14 September 1979, akibat penyakit yang dideritanya, ia tetap dengan setia mendampingi suaminya.
Sepeninggal isterinya KHM. Usman kawin dengan seorang wanita berasal dari Palopo Sulawesi Selatan bernama Yasih Rotasih. Bersama istrinya beliau tinggal di komplek perumahan (Perumnas) di Depok I sampai akhir hayatnya.
Kehidupan Usman muda memang penuh variasi. Sejak sebelum berumah tangga ia sudah membantu mengajar di sebuah madrasah kecil yang awalnya merupakan pengajian anak-anak yang dipimpin oleh Haji Mustofa yang dikenal juga dengan sebutan Haji Gambek. Bangunan madrasah masih sangat sederhana, terdiri dari tiang kayu yang kasar dan berdinding bambu. Bangkunya pun terdiri dari bambu bulat yang diatur sedemikian rupa sehingga dapat diduduki, dan mejanya terbuat dari papan kasar yang dipakukan pada sebatang bambu. Waktu itu madrasah dipimpin oleh Dahlan Rowi, seorang pendatang dari Jakarta. Dahlan Rowi tinggal di Jakarta, karena itu ia tak dapat menekuni madrasah setiap hari. Ia hanya datang ke madrasah seminggu sekali atau dua minggu sekali. Kadang-kadang lebih dari satu bulan ia tak sempat datang ke madrasah. Urusan sehari-hari madrasah ditangani oleh guru-guru muda yang mau bekerja keras sekalipun tanpa imbalan yang layak. Diantaranya adalah adalah seorang yang sudah agak senior yaitu Syuaib Al-Wahidi dan Mutholib Usman.
Suatu ketika ia dipanggil oleh pengurus madrasah. Tanpa alasan yang jelas ia di berhentikan sebagai guru pada madrasah yang ia cintai itu. Hatinya sedikit terpukul menghadapi kenyataan itu. Ketika itu usia perkawinannya telah beberapa tahun, dan dua anak laki-laki sebagai buah perkawinannya telah lahir.
Ia berangkat ke Jakarta mencari pekerjaan untuk menghidupi isteri dan kedua anaknya. Diawali dengan berdagang es, pahitnya kehidupan kota Jakarta mulai ia rasakan. Pernah ia mencoba untuk menjadi tukang pencukur rambut dan sesekali ikut saudara iparnya bekerja sebagai tukang potret keliling. Beberapa tahun ia tainggal di Jakarta menumpang di rumah tempat kakaknya mengontrak, yang telah lebih dahulu tinggal di sana. Seminggu sekali ia pulang ke Kukusan menjenguk istri dan anak-anaknya yang sangat dicintainya.
Adapun keadaan madrasah di kampung sejak ditinggalkannya ke jakarta ternyata tidak mengalami kemajuan. Madrasah tersebut pada akhirnya bubar tak dapat di pertahankan lagi.
Suatu ketika pengurus madrasah yang sudah bubar itu datang dan memintanya untuk mengajar kembali di madrasah. Usman tidak segera mengabulkan permintaan itu. Bukan ia tak mau, tetapi ia khawatir kenyataan pahit yang dialaminya dahulu akan terulang lagi. Tetapi ketika pak Towih dan kawan-kawannya selaku pengurus memberikan jaminan bahwa kasus yang lalu tidak akan terulang lagi, iapun menyanggupi untuk kembali memimpin madrasah. Masih teringat ia akan kata-kata pak Towih ketika itu: “Kalau bukan elu yang nerusin usaha ini, siapa lagi yang bisa diharap”. Dengan “Bismillah” iapun menerima permintaan pengurus madrasah itu.

MEMIMPIN MADRASAH
Tanggal 12 April 1942. Tanggal itu mempunyai arti tersendiri bagi pribadi pemuda bernama Mutholib Usman itu. Pada tanggal 12 April itu ia kembali ke madrasah yang dicintainya, setelah dicampakkan orang beberapa tahun lamanya. Ia kembali memimpin madrasah yang nyaris bubar itu, sekalipun secara ekonomi , kembalinya ia ke madrasah itu tidak mempunyai keuntungan materi yang berarti. Akan tetapi secara idealisme, ia ia seakan-akan memperoleh kembaki semangat baru untuk menggapai cita-citanya.
Dengan modal sebelas orang murid dan bangunan sederhana yang dibangun di atas tanah milik Bapak Abdullah, mulailah ia menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya, membangun kembali madrasah dari puing-puing yang sudah hancur berantakan. Alhamdulillah, di tangannya madrasah mulai berkembang maju. Murid-muridnya datang dari berbagai pelosok kampung di sekitar Kukusan antara lain: Beji, Tanahbaru, Serengseng, Pondokcina, Kampungsawah, dan sebagainya.
Suatu ketika pak Abdullah tidak lagi mengizinkan tanahnya digunakan untuk kepentingan madrasah dan mesjid, sehingga diputuskan untuk memindahkan lokasi madrasah dan mesjid ke tempat lain. Dengan kerja keras yang tak mengenal lelah, pengurus dan pimpinan madrasah berhasil mengumpulkan dana untuk membebaskan se bidang tanah. Di atas tanah itu, didirikan madrasah dan mesjid. Di kemudian hari madrasah dan masjid itu berkembang menjadi SD. Muhammadiyah dan Masjid Al-Mujahidin yang berlokasi di Jl. KHA. Dahlan Kelurahan Kukusan Kecamatan Beji Kota Depok.

PERKENALANNYA DENGAN MUHAMMADIYAH
Hubungan baiknya dengan sahabatnya sekaligus gurunya Syu’aib Al-Wahidi yang berasal dari Tomang Jakarta, menyebabkan ia berkenalan dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah di Jakarta. Ketika berlangsung Mu’tamar Muhammadiyah ke 32 di Purwokerto pada tahun 1953, Usman hadir sebagai peninjau. Ia lebih mengenal lagi persyarikatan Muhammadiyah yang didirikan oleh KHA Dahlan pada tahuyn 1912 di Yogyakarta itu, dan sepulangnya dari Mu’tamar, ia mendirikan ranting Muhammadiyah di Kukusan yang merupakan bagian dari Grup Muhammadiyah Tanah Abang Jakarta. Sebagai pimpinan Muhammadiyah, ia mulai aktif mengisi pengajian-pengajian di berbagai tempat di Kukusan dan kamoung-kampung sekitarnya. Dari pengajian-pengajian yang dipimpinnya itu, berdirilah Muhammadiyah di Serengseng dan Bojong Pondokcina. Serengseng adalah cikalbakal dari ranting Muhammadiyah yang sekarang berada di Beji Timur. Selanjutnya Muhammadiyah berkembang ke Depok Barat yaitu Rawadenok dan sekitarnya. Dari perkenalan dan persahabatannya dengan M. Awab Usman dan pemuda M. Syamsuddin, berdirilah ranting Muhammadiyah di Rawadenok, Cipayung, Pulo, Parungbingung dan Jemblongan.
Dengan modal ranting-ranting itu di tamgah dengan ranting-ranting yang sudah ada yaitu: Kukusan, Serengseng, dan Bojong Pondokcina, maka pada tanggal ………… berdirilah Cabang Muhammadiyah di kecamatan Depok dengan SK Pimpinan Pusat Nomor: ……………………… Tahun ……., dan selama beberapa priode diketuai oleh KH. M. Usman. Selanjutnya, dengan berdirinya perumahan PERUMNAS di Depok, berdiri pula ranting Muhammadiyah ranting Depok Baru yang dirintis oleh Bapak A. Muchtadi (Almarhum).
Pada perkembangan berikutnya, dengan diresmikannya Depok sebagai Kota Administratif, berdirilah Daerah Muhammadiyah Depok yang memiliki empat cabang, yaitru: Beji, Depok Barat, Pancoranmas, dan Cisalak/Cimanggis. Cabang Beji, Depok Barat dan Pancoranmas adalah adalah pengembangan / pemekaran dari Cabang Muhammadiyah ex Kecamatan Depok. Sedangkan Cabang Cimanggis/Sukmajaya, yang kini dikenal dengan nama Cabang Sukmajaya, telah berdiri sebelum pemekaran Cabang Depok seperti tersebut di atas. Daerah Muhammadiyah Depok berdiri pada tahun ………. Dengan SK Pengesahan dari Pimpinan Pusat Nomor: …………………………. Tahun …….., dengan susunan pengurus sebagai berikut:
Ketua : KH.M.Usman
Wakil Ketua I : Drs. H. Farkhan AR
Wakil Ketua II : H. M. Syamsuddin
Sekretaris : Drs. M. Acxhmadi Yusuf
Wk. Sekretaris : Zaenal Abidin, BA
Demikianlah hubungan antara KHM Usman dengan Muhammadiyah Depok seolah-olah tak dapat dipisahkan sampai akhir hayatnya. Semasa hidupnya hampir semua Mu’tamar Muhammadiyah pernah diikutinya. Sejak Mu’tamar ke-32 di Purwokerto pada tahun 1953, beliau mengikuti Mu’tamar ke-33 di Palembang (1956), Mu’tamar ke-34 di Yogyakarta (1959), Mu’tamar ke-35 di Jakarta (1962), Mu’tamar ke-36 di Bandung (1965), Mu’tamar ke-38 di Makasar (1971), Mu’tamar ke-40 di Surabaya (1977), Muu’tamar ke-41 di Surakarta (1980), Mu’tamar ke 42 di Yogyakarta (1985). Hanya Mu’tamar ke-39 di Padang (1973) yang tak sempat diikutinya, karena bersamaan dengan keberangkatannya ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji, dan ketika Mu’tamar ke-43 di Aceh (1990) berlangsung, beliau tak hadir karena usia yang sudah lanjut.

MASA-MASA SULIT
Ada suatu peristiwa yang sangat membekas dalam ingatan KHM. Usman, seperti yang pernah diceriterakannya kepada penulis dalam beberapa kesempatan. Beliau berceritera sebagai berikut:
“ Ketika itu sedang ramai-ramainya tentara NICA masuk ke kampung-kampung mencari pemuda-pemuda yang bergabung dalam barisan perjuangan membela kemerdekaan. Umumnya para pemuda itu memakai lambang-lambang kebangsaan seperti gambar merah putih atau gambar bung Karno yang terbuat dari kaleng. Berapa banyak pemuda yang kedapatan oleh Nica memakai tanda-tanda itu dipukuli dan dianiaya. Ada pula yang diperintahkan untuk menelan lencana yang terbuat dari kaleng itu.
Suatu hari , ketika aku baru saja selesai buang hajat besar dijamban di depan rumahku, tiba-tiba rumahku sudah dikepung oleh puluhan serdadu Nica. Beberapa orang diantaranya diantaranya menjemputku dengan wajah yang bengis seraya menghardikku : “Saudara kenal dengan Usman”.”Saya sendiri “ jawabku. “Pekerjaan ?”. “Guru, tuan” jawabku dengan ketakutan. Sambil menodongkan senjatanya ke arahku, ia terus menggiringku ke rumahku. “Jangan coba-coba lari, ya!”, gertaknya lagi. Aku permisi dulu untuk mengganti pakaian, karena pakaian yang kukenakan ketika itu hanyalah kaos oblong dan kain sarung lusuh berwarna merah tua. Aku masuk kedalam rumah. Sengaja kupilih pakaian yang agak rapih karena akan menghadapi tamu yang menakutkan itu. Tanpa sadar kukenakan jas. Aku lupa bahwa jas itu terdapat gambar Bung Karno terbuat dari kaleng. Ketika aku keluar hampir semua mata menatap padaku. Diperhatikannya lencana yang menempel di jasku dengan teliti. Beberapa prajurit kembali menodongkan senjatanya padaku. Tetapi ajaib, entah apa sebabnya pimpinan Nica tiba-tiba memberi aba-aba. Seketika itu juga moncong senjata yang semula diarahkan kepadaku diarahkannya ke tempat lain. Alhamdulillah !

“Saudara kenal gambar siapa itu ?”, tanyanya padaku. Suaranya sudah agak menurun. “Ini adalah gambar presiden kami, Bung Karno”, jawabku. “Saudara cinta sama dia ?” tanyanya lagi. “Ya, dia presiden kami, dan kami mencintainya”, jawabku mantap. “Sekarang saudara lepaskan saja gambar itu, kalau bukan saya yang memeriksa tentu saudara sudah ditangkap”. Akupun melepaskan gambar itu dan kumasukan ke dalam saku jasku. “Jadi saudara bukan pelopor ?”, tanyanya lagi. “Saya hanya seorang guru tuan. Saya mengajar dimadsrasah”. “Kenapa murid-murid madrasah menghormati ketika kami datang?” tanyanya masih curiga. Rupanya sebelum datang kerumahku, mereka telah singgah di madrasah dan menemui murid-muridku. “Ooo, itu semata-mata kebiasaan sejak zaman Jepang”, jawabku lagi.
Rupanya mereka mulai percaya akan ucapan-ucapanku. Suara dan pandangannya sudah mulai bersahabat. Tetapi sebagian dari mereka sudah mulai menggeledah rumahku. Hatiku kembali kecut. Diatas lemari, dalam sebuah maf terdapat nama-nama dazn bukti-bukti yang menunjukkan identitasku sebagai anggota pelopor. Dibongkarnya buku-buku dan isi almari. Diamat amatinya foto-foto yang ada didinding. Dan, alhamdulillah, map diatas lemari itu tak diperiksanya. Satu persatu mereka keluar dari rumahku. Dan aku diajaknya ke madrasah. Di madrasazh, kembali murid-muridku memberi hormat. “Besok tak boleh menghormat seperti ini, ya”, katanya. Aku mengangguk. Ia tampak senang. Murid-muridku disuruhnya berbaris, dan masing-masing diberinya uang beberapa sen. Kemudian merekapun segera meninggalkan madrasah. Aku melepasnya dengan perasaan lega. Bahaya yang mengancam telah berlalu.
Tetapi kesulitan rupanya masih belum mau pergi jauh dariku. Kata kawan-kawan, ketika tentara Nica itu akan pulang, mereka berjumpa denagn dua orang TKR yangs edang minum kopi di warung. Kedua anggota TKR itu langsung ditangkap dan dibawa ke Pasar Minggu.
Beberapa hari kemudian aku mendapat surat panggilan dari Residen Bogor untuk menghadap ke Bogor esok hari. Aku tak mengerti maksud surat panggilan itu. Hatiku merasa tak enak. Sore hari itu aku berangkat ke Bogor menumpang kereta api yang terakhir, dan bermalam dirumah seorang temanku disana. Pagi-pagi sekali aku sudah menghadap kantor Residen di Bogor. Kutemui Bapak Residen, dan beliau memanggil Kepala Polisi untuk mengintrogasiku.
“saudara bernama Usman?”. Dia bertanya dengan suara keras. Suaranya terdengar bergetar menahan marah. Matanya tampak merah. Aku mulai berfikir-fikir, apa gerangan kealahanku, ketika Kepala Polisiitu menggertak, “Saudara mata-mata Nica, ya”. Aku terperanjat bukan buatan. Selama ini aku telah banyak menghabiskan usiaku untuk membela rakyat. Aku menanamkan kesadaran masyarakat untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka. Aku mendidik murid-muridku untuk mencintai tanah air, dan mencintai pemimpin-pemimpin bangsa. Bahkan baru beberapa hari yang lalu aku hampir saja mendapat bahaya lantaran mengenakan simbol-simbol perjuangan. Dan kini aku dituduh sebagai penghianat bangsa. Sebagai mata-mata Nica. Wahai, hati siapakah yang tak tergoncang menghadapi masalah seperti ini.
Tak terasa kakiku naik ke atas kursi, dan dengan suara bergetar menahan emosi aku berkata, “Tuan-tuan boleh menuduh saya sebagai kaki tangan Nica. Tuan-tuan boleh menganggap saya penghianat bangsa. Tetapi, Demi Allah, saya tidak serendah itu. Saya telah lama turut berjuang membangkitkan semangat rakyat didesa untuk mempertahankan kemerdekaan. Saya diodik murid-murid saya menjadi manusia yang cinta kemerdekaan dan menentang segala macam bentuk penjajahan. Terserah kalau tuan-tuan tetap menuduh saya dengantuduhan yang sehina itu”.
Agaknya ucapanku sedikit menurunkan kemarahan Kepala Polisi itu. Dengan suara yang agak rendah ia menyuruhku menceritakan tentang kedatanagn tentara Nica. Akupun menceritakan peristiwa itu dengan sejujur-jujurnya. Mulai ketika Nica mengepung rumahku, menodongku, sampai ketika tentara itu memberika uang kepada murid-muridku. Juga mengenai anggota TKR yang tertangkap itu, yang kesemuanya terjadi bukan atas kemauanku. Semuanya kuceritakan. Tak ada sedikitpun yang aku tutup-tutupi.
Pak Residen dan Kepala Polisi itu percaya atas segala keteranganku itu. Rupanya beliau mendapat laporan palsu mengenai kegiatanku di masyarakat. Tetapi kejadian itu rupanya membawa hikmah padaku, karena sejak saat itu aku banyak berkenalan dengan pimpinan-pimpinan rakyat yang ada keresidenan dan kabupaten Bogor. Dimasa-masa berikutnya hubunganku dengan pemimpin-pemimpin di Bogor semakin mudah dan lancar.
Suatu ketika aku dipercayakan oleh pak Bupati untuk membagi-bagikan uang Republik kepada masyarakat. Waktu itu keadaan ekonomi masyarakat sedang sulit- sulitnya. Uang sulit didapat, karena uang Jepang yang semula digunakan sebagai alat pembayaran resmi sudah ditarik dari peredaran. Dan sebagai gantinya diberlakukan uang Republik. Tetapi peredaran uang pengganti itu sangat sulit karena hambatan dari tentara Nica yang masih berkeliaran. Rupanya mereka sengaja mengacaukan ekonomi rakyat agar dapat kembali mengasai tanah air kita yang merdeka.
Bersama seorang teman aku dipanggil ke Bogor untuk mengurus penerimaan uang itu. Disana ditanyakan kesanggupanku melaksanakan tugas yang berat itu. Tugas berat kukatakan, karena tak banyak orang yang mau melaksanakan suatu tugas dimana nyawa menjadi taruhannya. Camat dan Lurah ditempat kami pun tidak berani menanggung resiko itu.
Sejenak akupun menjadi ragu. Tetapi ketika kuingat betapa sengsaranya rakyat yang hidup dalam dalam kesulitan ekonomi, semangat juangku bangkit. Aku tak menunggu pertanyaan dua kali ketika dengan mantap aku menjawab, “sanggup”.
Beberapa tumpukan uang republik itu denhan hati-hati kumasukan ke dalam karung goni yang berisi sayur-sayuran, dan kubawa ke stasion kereta api. Distasion beberapa serdadu Nica memeriksa karung yang kubawa. Ditusuk-tusuknya karung itu dengan bayonetnya. Ketika dia hanya menemukan sayur-sayuran, dibiarkannya aku membawa karung itu menaiki kereta api yang akan berangkat menuju Jakarta. Lagi-lagi aku menarik nafas panjang. Rupanya Allah tidak menyia-nyiakan hambanya yang bermaksud baik.
Tetapi kesulitan belum berakhir. Ketika sampai di stasion Pondokcina dan menurunkan karung berisi uang itu, Camat Sinda terburu-buru menemuiku. Dia memarahiku karena telah berani mengambil resiko dengan membawa uang republik itu, padahal Nica sedang galak-galaknya mengadakan pembersihan. “ Kembalikan uang itu ke Bogor, saya tak mau bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu akibat uang itu “ katanya marah. “ segera kembalikan uang itu “, serunya lagi. Aku bingung, apakah akan kukembalikan uang yang sudah kubawa dengan susah payah itu. Apalagi rakyat sangat memerlukannya. Dan untuk mengembalikan uang itupun bukan tanpa resiko.
Hubungan pribadiku dengan Camat Sinda memang cukup baik. Ketika diadakan pemilihan camat beberapa waktu yang lalu, kami berdua memang menjadi kandidat (calon). Dalam pemilihan, suara yang memilihku lebih banyak dari pada yang memilihnya. Tetapi aku tak menyanggupi jabatan itu karena aku ingin memusatkan perhatianku dalam membina madrasah. Jabatan itupun kuserahkan kepadanya. Jabatan itupun diterimanya dan akupun bersedia membantunya. Aku telah berusaha membantunya sedapat mungkin. Kepergianku ke Bogor mengambil uang itupun sebetulnya sekadar membantunya melaksanakan tugas-tugasnya sebagai pemimpin rakyat. Tetapi dia tak mau ikut bertanggungjawab.
Dia terus memaksaku mengembalikan uang itu. Kebetulan kereta api menuju Bogor memasuki stasion Pondokcina. Aku tak bisa berbuat lain. Karung itupun kuangkat dan kumasukan ke dalam kereta api yang akan berangkat menuju Bogor. Tiba-tiba aku melihat seorang pemuda bernama Hamzah. Kubisikan dia agar mau membantuku menyelamatkan karung berisi uang itu. Ternyata dia mau menuruti permintaanku.
Ketika kereta api berangkat dia sudah menunggu di ujung stasion sebelah selatan. Persis di dekat sinyal. Karung berisi uang itupun kudorong keluar dari kereta api dan berhasil diselamatkan oleh Hamzah sampai ke rumahku. Disitulah uang itu kubagi-bagikan dengan sembunyi-sembunyi karena takut tertangkap tentara Nica yang kejam itu. Aku sendiri mengambil jatah yang sama dengan yang lain. Aku merasa gembira telah dapat menolong rakyat yang sedang dalam kesulitan. Setelah habis uang itu kubagi-bagikan, Camat Sinda mendatangiku dan menanyakan tentang uang republik itu. Kukatakan bahwa uang itu telah habis kubagi-bagikan kepada rakyat. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala menyaksikan kenekadanku.
Ada lagi peristiwa yang sulit untuk kulupakan dalam kaitannya dengan masa-masa sulit ini. Masa itu beras sangat sulit didapat harganya pun mahal. Bahaya kelaparan seakan telah mengancam. Banyak rakyat yang menderita sakit busung lapar karena kurang makan.
Melihat keadaan seperti ini hatiku tergugah untuk membantu rakyat banyak memperoleh beras untuk makan. Dengan membawa uang yang dikumpulkan oleh teman-teman, aku bersama temanku Lihan yang tinggal di Pondokcina. Tempat yang kutuju adalah desa Buaran Cikampek.
Dengan menumpang kereta api aku berangkat bersama Lihan menuju Cikampek. Di desa Buaran, kudatangi rumah-rumah yang mempunyai persediaan beras untuk dijual. Di sana kami disambut oleh penduduk dengan ramah. Mereka menyediakan kami makan sepuasnya. Mereka turut membantu kami mengumpulkan beras, sehingga terkumpul cukup banyak. Aku terharu menyaksikan sambutan ramah mereka. Bayangkan, dimasa sulit beras seperti itu, mereka dengan tulus menyediakan kami makanan dan membantu mengumpulkan beras yang kami perlukan.
Beras yang terkumpul itu kami angkut dengan menyewa tiga gerbong kereta api. Aku membayangkan betapa gembiranya rakyat dikampung mendapatkan beras yang banyak seperti ini. Dengan terkantuk-kantuk aku pasrah dibawa kereta rel besi itu menuju Jakarta. Jeritan suara kereta api terasa sangat menyayat hati. Kwooooooong, kwong kwoong.
Ketika kereta api sampai di Purwakarta, beberapa anggota TKR (tentara keamanan rakyat) memeriksa gerbong-gerbong beras itu. Kepadaku ditanyakan surat perintah jalan dari pemerintah yang menyuruhku membawa beras itu. Aku baru sadar, aku tidak membawa



AKHIR HAYATNYA
Beliau wafat dengan tenang pada tanggal hari Sabtu tanggal …………..Hijriyah bertepatan dengan tanggal 24 Juli 1997 dalam usia 79 tahun di Kukusan di rumah puteranya yang kelima, Zaenal Abidin. Beberapa tahun sebelum wafatnya beliau tinggal bersama istinya yang kedua, Yasih Rotasih, di Jalam Mujair I/195 Depok I, tetapi menjelang wafatnya beliau menginap di rumah anak-anaknya secara bergilir. Beliau wafat meninggalkan seorang istri dan tujuh anak yang kesemuanya telah berkeluarga.
Jenazah beliau dikebumikan di pemakaman Kelurahan Kukusan, berdampingan dengan makam istrinya yang telah wafat delapan belas tahun sebelumnya.
Semoga Allah menerima arwah almarhum, dan menempatkannya di tempat yang layak disisinya. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar